Ahad pagi, hari libur yang terasa longgar, membuat maz Blangkon dan Kampret menjadi begitu santai. Selintas simbok-simbok penjual jajanan pagi masuk halaman rumah menawarkan
jajanannya. Kampret segera berdiri
dan membeli beberapa biji resoles dan
kipo, jajanan khas kotagede.
Kampret
|
:
|
“Hari ini saya saja maz yang bayari, biar dapat pahala sedekah
juga !”
|
Maz Blangkon
|
:
|
“Ya sudah, Mister Kampret
itu jan-jane memang pemurah, kok ! Hanya
kurang aplikasi saja…He he he !”
|
Kampret
|
:
|
“Nggiih Mister Blangkon…,
mulai sekarang aplikasinya ditingkatkan ! Biar Mister Blangkon tidak criwis
lagi!”
|
Keduanya lalu bersama menikmati Teh nasgitel dan jajanan pagi ! Tapi
kemudian Maz Blangkon ingat, bahwa Kampret belum cerita apa-apa sepulang
dari Jawa Timur, tanah kelahiran mereka berdua.
Maz Blangkon
|
:
|
“Pret, apa kabar keluargamu di Jawa Timur dan mungkin ada berita
menarik dari sana?”
|
Kampret
|
:
|
“Alhamdulillah baik semua maz, semuanya sehat wal’afiat… wal andong… wal cikar… wal dokar… ! He he he !”
Tapi ada sesuatu yang lain maz… yang indah… yang masuk dalam relung hatiku !”
|
Maz Blangkon
|
:
|
“Apa itu, Pret? Kok nampaknya hebat !”
|
Kampret
|
:
|
“Itu lho maz, Pak Sunardi,
Wirausahawan di kota asal kita dan sekaligus Ustadz itu !”
|
Maz Blangkon
|
:
|
Bagaimana dengan Pak Sunardi, Pret ?!”
|
Kampret
|
:
|
“Saya makin salut dengan beliaunya, maz. Pribadi dan keluarganya
selalu terjaga baik. Dulu di awal-awal usaha, hasil masih sedikit,
kemana-mana Pak Nardi pakai sepeda, Pak Nardi ramah dan santun. Waktu sepeda onthel sudah berganti sepeda motor, Pak Nardi tetap ramah
dan santun. Dan sekarang setelah bermobil,
beliau tetap ramah dan santun.
Dan semua
kalangan masyarakat dari kelompok apa saja : sesama usahawan, kalangan
petani, guru, pedagang kaki lima, PNS, para aparat, dll, semua cocok dengan
materi dan cara Pak Nardi sampaikan dakwahnya. Begitu maz. Bagaimana menurut
maz Blangkon ?!”
|
Maz Blangkon
|
:
|
“ Alhamdulillah Pret atas semua informasimu. Sebetulnya saya
selama ini sekali waktu juga sms-an
dengan Pak Sunardi. Saya sendiri sangat bersyukur, Pret. Beliau sosok
bersahaja, wirausahawan bersahaja, tapi pikiran
dan jiwanya lurus dan maju. Beliau sadar, bahwa Ilmu umum harus dikawal Ilmu agama. Dan Ilmu agama harus ditemani Ilmu umum. Beliau juga sadar, bahwa Iptek
harus difahami dan dimanfaatkan dengan baik dalam usaha dan dakwah. Dan yang
hebat juga Pret, dalam kesahajaan, beliau juga belajar dengan baik tentang
banyak pengetahuan. Hasilnya, Pak Nardi bertemu kalangan apa saja, berdakwah
dalam komunitas apa saja, beliau cepat akrab dan dirasa cocok. Lha bagaimana
Pret, Pak Nardi ini ketemu petani, beliau bisa bicara tentang pertanian.
Ketemu para bapak/ibu guru, beliau bisa bicara tentang pendidikan. Bertemu
kalangan PKL, Pak Nardi dengan cepat bicara tentang usaha mikro dan motivasi.
Para PKL jadi cepat akrab semua dengan Pak Nardi, Pret. Jadi ringkasnya, Pak
Nardi ini dalam kesahajaan, bisa praktekkan Konsep 3–AH, Ah…Ah…Ah. Begitu
Pret !”
|
Kampret
|
:
|
“…Ah…Ah…Ah.., bagaimana to maz ? Bikin saya mak serr saja ! Ingat-ingat lho maz, jangan goda saya !
Mentang-mentang saya belum nikah !”
|
Maz Blangkon
|
:
|
“Gini lho Pret, maksud saya, bahwa dalam kesahajaan, Pak Sunardi
ini terus bekali diri dan perbaiki diri dengan kehidupan agama yang
baik. Lengkapi diri dengan Iptek.
Dan juga praktekkan dengan baik seni bergaul, seni berdakwah,
sehingga mudah kumpul dengan siapa saja. Seakan Pak Nardi berpesan pada kita
:
dengan
agama, hidup jadi terarah
dengan
iptek, hidup jadi mudah
dengan
seni, hidup jadi indah
Nah Pret, “3-AH” kan
?!”
|
Kampret
|
:
|
“He…he…he…, hemhh…betul kalo begitu ! Saya kira… ahhh…ahhh…ahhh”
|
Maz Blangkon
|
:
|
“….??? Weeladalahh… macem-macem mikire !”
|
Ft :
-
Simbok (jawa) =
ibu.
-
Sepeda onthel
(jawa) = sepeda tanpa mesin.
- Macem-macem mikire (jawa) = macam-macam pikirannya.