Maz Blangkon
dan Kampret habis berkunjung silaturahim dari rumah temannya di Sleman. Pulang
masuk kota, keduanya merasa perlu mampir menikmati kuliner murah meriah
di sebuah angkringan. Sambil duduk santai sembari memijat-mijat kaki
yang terasa lelah, mereka berdua mulai nyruput minumannya masing-masing.
Sesaat kemudian
masuk seorang bapak-bapak usia setengah abad lebih, yang kemudian minta bagian
bisa ikut duduk di kursi panjang. Bapak itu orang memanggilnya Pak Maryono.
Tapi tiba-tiba pak Maryono keluarkan Hp, nyalakan musik riuh,
badannya kemudian goyang-goyang dan kepalanya gêdêg- gêdêg. Waktu pelayan angkringan
memancing pertanyaan, “Wah, asyik ya pak ?” maka pak Maryono sambil
terus gêdêg-gêdêg langsung nyerocos : “Hidup harus
dinikmati, mas. Seperti saya ini, sekali waktu mêndêm, sekali waktu di angkringan. Tapi goyang-goyang, gêdêg-gêdêg, harus jalan terus ! Gawean
serabutan tak apa, kadang parkir, kadang bantu-bantu nukang, kadang
juga ngembat pitikê
wong… whua… ha ha ha ! …. !” Pak Maryono nyerocos terus sambil mulutnya
dimasuki gorengan, krupuk, tahu bacem, dll. Satu persatu orang yang duduk
didekatnya mulai menyingkir.
Kampret
|
:
|
“Wah maz, saya rasanya mules lihat orang seperti Pak Maryono ini.
Bagaimana maz ?”
|
Maz Blangkon
|
:
|
“Tenang sebentar, Pret. Dan inilah dunia, Pret. Dunia yang penuh
warna-warni ! Manusia yang punya akal dan nafsu, serta kehendak yang bebas,
memunculkan ragam sosok manusia dengan kwalitasnya masing-masing. Ada yang
manis dilihat dan enak diajak berbicara. Ada yang pandai dan banyak
memberikan manfaat atas masukan-masukannya. Ada juga yang nyebahi,
kayak Pak Maryono ini !”
|
Kampret
|
:
|
“Tapi pak Maryono ini sudah lumayan tua maz, tapi kok masih kayak
begitu, ya ?”
|
Maz Blangkon
|
:
|
“Iya, Pret. Kesadaran Hidup itu tidak mengenal usia, Pret
! Ada yang masih muda, tapi sudah punya kesadaran hidup bagus, maka Insya
Allah usianya dan makin tua akan makin banyak memberikan manfaat bagi
sekitarnya. Tapi tak kurang juga usianya sudah menjelang maghrib, tapi
belum juga punya kesadaran hidup yang bênêr, sehingga ada tidaknya dia itu tidak diperhitungkan di
masyarakat, bahkan mungkin malah memberi nilai minus ! Kita berlindung dari
hal-hal demikian, Pret !”
|
Kampret
|
:
|
“Usia menjelang maghrib, maz ?”
|
Maz Blangkon
|
:
|
“Iya Pret, itu sebagai perlambang atau penanda usia
saja, untuk memudahkan orang-orang agar segera berkesadaran diri. Jika maghrib
adalah waktu kematian, atau perlambang jatuh tempo jatah usia
telah sampai, maka waktu dluhur adalah perlambang seorang anak manusia
telah masuk usia kematangan atau sekitar 40 tahun. Untuk itu jika
seseorang telah masuk usia 40 tahun, tapi kok belum juga
memiliki kwalitas kesadaran hidup untuk hidup beriman secara baik, maka itu
pertanda nasib kubur dan akhiratnya berada dalam bahaya, Pret ! Sekian, maz
Blangkon matur pada Tuan Kampret ! He… he… he…!”
|
Kampret
|
:
|
“Atur maz Blangkon tak tompo ! Sudah maz, yuk kita pulang.
Nggak nyaman saya lama-lama dekat dengan orang kayak Pak Maryono ini. Aura
negatip ! Sumpek Aku !”
|
Mereka berdua beranjak pergi,
sementara pak Maryono masih terus mutar musik riuh via Hp nya,
dan teruss… gêdêk-gêdêk !
Ft :
-
Mêndêm (jawa) = mabuk (karena miras).
-
Gawean
serabutan (jawa) = pekerjaan apa adanya.
-
Ngembat
pitikê wong (jawa) = mencuri ayam orang.
-
Nyebahi
(jawa) = memuakkan.
-
Matur
(jawa) = menyampaikan suatu informasi / berita.
-
Tak
tompo (jawa) = diterima.
- Sumpek aku (jawa) = perasaan hati tidak nyaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar