Selasa, 06 Mei 2014

REHAT 0059 ANGKRINGAN (3)


Maz Blangkon dan Kampret habis berkunjung silaturahim dari rumah temannya di Sleman. Pulang masuk kota, keduanya merasa perlu mampir menikmati kuliner murah meriah di sebuah angkringan. Sambil duduk santai sembari memijat-mijat kaki yang terasa lelah, mereka berdua mulai nyruput minumannya masing-masing.
Sesaat kemudian masuk seorang bapak-bapak usia setengah abad lebih, yang kemudian minta bagian bisa ikut duduk di kursi panjang. Bapak itu orang memanggilnya Pak Maryono.
Tapi tiba-tiba pak Maryono keluarkan Hp, nyalakan musik riuh, badannya kemudian goyang-goyang dan kepalanya gêdêg- gêdêg. Waktu pelayan angkringan memancing pertanyaan, “Wah, asyik ya pak ?” maka pak Maryono sambil terus gêdêg-gêdêg langsung nyerocos : “Hidup harus dinikmati, mas. Seperti saya ini, sekali waktu mêndêm, sekali waktu di angkringan. Tapi goyang-goyang, gêdêg-gêdêg, harus jalan terus ! Gawean serabutan tak apa, kadang parkir, kadang bantu-bantu nukang, kadang juga ngembat pitikê wong… whua… ha ha ha ! …. !” Pak Maryono nyerocos terus sambil mulutnya dimasuki gorengan, krupuk, tahu bacem, dll. Satu persatu orang yang duduk didekatnya mulai menyingkir.  
    Kampret    
:
“Wah maz, saya rasanya mules lihat orang seperti Pak Maryono ini. Bagaimana maz ?”
    Maz Blangkon  
:
“Tenang sebentar, Pret. Dan inilah dunia, Pret. Dunia yang penuh warna-warni ! Manusia yang punya akal dan nafsu, serta kehendak yang bebas, memunculkan ragam sosok manusia dengan kwalitasnya masing-masing. Ada yang manis dilihat dan enak diajak berbicara. Ada yang pandai dan banyak memberikan manfaat atas masukan-masukannya. Ada juga yang nyebahi, kayak Pak Maryono ini !”
    Kampret
:
“Tapi pak Maryono ini sudah lumayan tua maz, tapi kok masih kayak begitu, ya ?”
    Maz Blangkon
:
“Iya, Pret. Kesadaran Hidup itu tidak mengenal usia, Pret ! Ada yang masih muda, tapi sudah punya kesadaran hidup bagus, maka Insya Allah usianya dan makin tua akan makin banyak memberikan manfaat bagi sekitarnya. Tapi tak kurang juga usianya sudah menjelang maghrib, tapi belum juga punya kesadaran hidup yang bênêr, sehingga ada tidaknya dia itu tidak diperhitungkan di masyarakat, bahkan mungkin malah memberi nilai minus ! Kita berlindung dari hal-hal demikian, Pret !”
    Kampret
:
“Usia menjelang maghrib, maz ?”
    Maz Blangkon
:
“Iya Pret, itu sebagai perlambang atau penanda usia saja, untuk memudahkan orang-orang agar segera berkesadaran diri. Jika maghrib adalah waktu kematian, atau perlambang jatuh tempo jatah usia telah sampai, maka waktu dluhur adalah perlambang seorang anak manusia telah masuk usia kematangan atau sekitar 40 tahun. Untuk itu jika seseorang telah masuk usia 40 tahun, tapi kok belum juga memiliki kwalitas kesadaran hidup untuk hidup beriman secara baik, maka itu pertanda nasib kubur dan akhiratnya berada dalam bahaya, Pret ! Sekian, maz Blangkon matur pada Tuan Kampret ! He… he… he…!”
    Kampret
:
Atur maz Blangkon tak tompo ! Sudah maz, yuk kita pulang. Nggak nyaman saya lama-lama dekat dengan orang kayak Pak Maryono ini. Aura negatip ! Sumpek Aku !”

         Mereka berdua beranjak pergi, sementara pak Maryono masih terus mutar musik riuh via Hp nya, dan teruss… gêdêk-gêdêk !


Ft :

-    Mêndêm (jawa) = mabuk (karena miras).
-    Gawean serabutan (jawa) = pekerjaan apa adanya.
-    Ngembat pitikê wong (jawa) = mencuri ayam orang.
-    Nyebahi (jawa) = memuakkan.
-    Matur (jawa) = menyampaikan suatu informasi / berita.
-    Tak tompo (jawa) = diterima.
-    Sumpek aku (jawa) = perasaan hati tidak nyaman.
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar