Maz Blangkon lagi berkumpul bersama keluarga besar neneknya di
Kampung. Waktu kecil, pernah beberapa tahun maz Blangkon tinggal bersama
neneknya di Kampung ini. Mereka berkumpul dan saling bercerita dari A sampai Z
tentang segala hal. Sampai kemudian nenek maz Blangkon ingat sesuatu. “Kamu
ingat Parmin ?” Tanya nenek maz Blangkon. “Oh ingat, nek. Kenapa dengan Parmin
?” Tanya maz Blangkon. “Belum lama dia masuk penjara. Nah, jika kamu ada waktu
longgar, baik juga jika kamu sempatkan tilik dia di penjara”,
Saran nenek maz Blangkon. “Baik nek, Insya Allah !” jawab maz Blangkon. Sejenak
maz Blangkon mengingat-ngingat kembali nama yang disebutkan neneknya, maz
Blangkon ingat, bahwa temannya dulu yang bernama Parmin itu cenderung agak suka
marah dan grusa-grusu. Dan segera saja maz Blangkon berkemas berangkat
menuju lapas. Kebetulan di Lapas lagi tak ada yang jenguk Parmin, jadi
maz Blangkon bisa punya waktu cukup untuk omong-omong.
Maz Blangkon
|
:
|
“Apa kabar Parmin, masih ingat saya nggak ?”
|
Parmin
|
:
|
“Sebentar ya…, oh ya kalo tidak salah njenengan cucu mbah
Zainab, yang bernama maz Blangkon ya ?”
|
Maz Blangkon
|
:
|
“Betul sekali ! kita dulu pernah bermain bersama. Oh ya,
bagaimana kabarnya ? sehat-sehat saja ya ? Dan kenapa kok sampai di sini,
Parmin ?”
|
Parmin
|
:
|
“Alhamdulillah maz Blangkon, sehat-sehat saja. Kalo kenapa saya
masuk sini, rasa-rasanya ini karena KARMA, atau mustajabnya DO’A
ORANG YANG SUSAH, maz !”
|
Maz Blangkon
|
:
|
“Maksudnya bagaimana, Min ?”
|
Kampret
|
:
|
“Begini maz; sekitar tujuh tahun yang lalu, pas kami ronda, kami
pergoki ada orang yang lagi curi pisang di kebun pisang Pak Kasturi.
Waktu pencuri itu terpojok, maka teman-teman ronda bilang dicek dulu, siapa
dia, siapa tahu tetangga sendiri. Tapi entah kenapa, saya sendiri tiba-tiba
langsung menghantamnya dan menendang keras pinggangnya, sampai pisang curian
terlontar dari tangannya dan orang itu tak lagi mampu duduk. Itupun saya
masih nambah lagi memukul berkali-kali wajah orang itu yang tertutup sarung,
sampai orang itu minta ampun. Tapi betapa kaget saya dan teman-teman ronda,
setelah penutup sarung itu dibuka, ternyata itu adalah Kang Sarip, warga kampung
kami sendiri dari kalangan tidak mampu ! Kami mendekatinya, Kang Sarip sudah
tak mampu jalan, dan wajahnya berdarah-darah akibat pukulanku. Dan sambil
bernapas tersengal-sengal, terduduk, dan menyeka darah dari pelipis dan
mulutnya, kang Sarip menatap tajam padaku, dan berkata terbata-bata :
“Saya memang salah, Parmin. Tapi sudah
Seharian keluarga saya tidak makan
maka terpaksa saya mencuri
pisang. Saya memang orang susah Min,
Tapi kau buat aku jadi begini. Maka demi
Kuasane Gusti Allah, Min, Ingatlah,
Ingatlah, kamu tak akan mati, kecuali
Kamu alami pula apa yang ku alami ini !”
Setelah berkata-kata begitu,
Kang Sarip lalu pingsan. Sementara saya sendiri jadi diam tercekat
maz. Nafas saya jadi naik turun, dan hati rasanya bergumpal-gumpal,
sebagai kumpulan dari rasa menyesal, kasihan Pak Sarip dan rasa takut yang
luar biasa”.
|
Maz Blangkon
|
:
|
“Lalu bagaimana dengan nasib Pak Sarip, Min ?”
|
Parmin
|
:
|
“Malam itu juga kami bangunkan Pak Dukuh dan Pak Kasturi, yang
kemudian langsung bawa Kang Sarip ke Rumah Sakit. Pak Kasturi yang kemudian
menanggung semua bea Rumah Sakit; bahkan dalam rapat kampung, Kang Sarip
diberi pekerjaan oleh Pak Kasturi untuk jaga dan merawat kebun pisang”.
|
Maz Blangkon
|
:
|
“Pak Kasturi sejak dulu memang pemurah ya, dan termasuk warga
terbaik di Kampung kita. Lha, terus bagaimana akhirnya kamu sampai di
sini, Min ?”
|
Parmin
|
:
|
“Ya, itulah maz. Setelah 7 tahun berlalu, ada seorang Polisi jadi
warga baru di ujung kampung kita. Pak Polisi ini juga memiliki kebun jeruk
manis di utara desa. Nah, entah bagaimana, tiba-tiba di suatu malam, saya
amat ingin menikmati jeruk-jeruk manis itu. Saya berhasil menikmatinya
beberapa buah, dan saya pun juga ambil beberapa lagi, saya masukkan sarung
untuk saya bawa pulang. Tapi betapa kagetnya saya, begitu keluar kebun, saya
sudah dihampiri para penjaga kebun, lalu beramai-ramai saya dihajar mereka.
Dan setelah dibawa ke rumah Pak Polisi pemilik kebun, saya langsung dibawa ke
Polsek diproses, sampai kemudian saya masuk LP ini maz. Ini adalah karma
perbuatan saya terhadap Kang Sarip maz. Atau bisa juga ijabah
terkabulnya do’a Kang Sarip yang waktu itu dalam posisi sebagai orang susah
dan terdzalimi lagi !”
|
Maz Blangkon
|
:
|
“Ya Parmin, ini adalah wujud terkabulnya do’a Kang Sarip sebagai
orang yang terdzalimi. Tapi tak ada orang yang bersih di dunia ini Min,
kecuali para Nabi dan Rasul. Untuk itu, yang penting sekarang ada niat kuat
dari dirimu untuk jadi lebih baik dalam semua hal. Jangan lagi mudah emosi,
mudah grusa-grusu, apalagi umurmu juga terus tambah. Wujudkan kebaikan
itu seberapa pun besarnya dengan istiqamah, Insya Allah akhirnya kemulyaan
akan bersamamu. Jagalah sholatmu ya Min, dan perbanyaklah selalu permohonan
ampun pada Gusti Allah !”
|
Parmin
|
:
|
“Terima kasih sekali kunjungannya ya maz Blangkon, saya jadi
terhibur”.
|
Maz Blangkon
|
:
|
“Insya Allah, jika ada waktu longgar, saya akan jenguk kamu lagi.
Dan ini kesukaanmu, ceriping ketela. Katanya kamu sangat suka. Nikmati
bersama temanmu di LP ini ya”.
|
Parmin
|
:
|
“Wah, terima kasih sekali maz. Mungkin juga untuk Pak Sipir, kalo
juga minta !”
|
Ft :
-
Grusa-grusu
(jawa) = sembrono.
-
Njenengan
(jawa) = anda.
-
Kuasane
Gusti Allah (jawa) = Atas Kuasa Allah.
- Ijabah (Arab) = dikabulkan do’anya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar