Waktu Maz Blangkon dan Kampret jalan-jalan di Malioboro dan sampai
di ujung selatannya, tepatnya depan Benteng Vandenburg,
tiba-tiba Maz Blangkon kaget terhadap sosok seseorang yang baru lewat
disampingnya.
Kampret :
“Ada apa maz kok kaget?”
Maz Blangkon : “Itu
seperti teman saya dulu waktu di Jakarta, mas Wicaksono.
Kampret :
“mas Wi – cak – so – nooo !”
Tiba-tiba saja Kampret langsung coba memanggil.Maz Blangkon
khawatir kalo itu bukan Wicaksono.“Wah, kamu ini Pret, langsung tembak begitu
saja!” Kata Maz Blangkon. Tapi tiba-tiba saja yang merasa dipanggil itu
berhenti, dan membalikkan badan, memandang dalam-dalam maz Blangkon dan
Kampret.
Wicaksono : “Apa
betul njenengan maz Blangkon?”
Maz Blangkon : “Betul mas wicak. Alhamdulillah kita bisa
ketemu lagi. Mari duduk-duduk dulu di sini”.
Wicaksono : “Saya
bersyukur sekali bisa ketemu maz Blangkon. Bagaimana kabarnya, maz?”
Maz Blangkon :
“Alhamdulillah baik-baik saja. Bagaimana kabar sebaliknya? Juga lagi acara apa
di Jogja nih, kok sendirian saja? Oh ya kenalkan, ini teman karib saya pualing
bagus sak RT, Kampret namanya!”.
Kampret tersenyum, dan segera bersalaman erat dengan Wicaksono.
“Saya Wicaksono, mas Kampret. Senang bertemu mas Kampret”. “Sama-sama mas Wicak”, sahut Kampret.
Wicaksono : “Saya
itu sejak tiga bulan lalu sudah bekerja selaku PNS di salah satu kantor dinas
Provinsi di Jogja ini, maz. Saya tak bisa kontak maz Blangkon karena no. Hp nya
ada di Hp yang hilang”.
Maz Blangkon :
“Alhamdulillah. Tapi kok begitu mudah dan cepat tiba-tiba sudah dinas
di Jogja
sini. Bukankah dulu sudah mapan kerja di swasta terkenal, di
Jakarta?”.
Wicaksono : “Betul maz,
semua terasa dimudahkan. Awalnya adalah pesan Bapak/Ibu
yang sudah makin sepuh,
agar saya sebagai anak bungsu kerja saja di Solo atau Jogja agar bisa dekat
dengan beliau berdua, sementara kakak-kakak semua sudah jauh-jauh”.
Maz Blangkon :
“Bapak/Ibu masih di makan haji – solo?”
Wicaksono : “Masih maz.
Nah, selanjutnya dalam rangka memenuhi pesan bapak/ibu, saya lalu ikut tes CPNS
di Jogja. Tapi yang sesuai dengan bidangku hanya ada 1 kursi di salah satu
kantor dinas Provinsi DI Yogyakarta. Masya Allah, ada ratusan orang maz yang
ingin merebut satu kursi itu. Saya pasrah dan tawakkal saja. Hasil test
ternyata saya dapat ranking ke 3. Skenario Allah, Maz; tiba-tiba saja peserta
yang ranking 1 mengundurkan diri, disusul kemudian yang ranking 2 juga
demikian. Maka sayalah yang kemudian diterima di kantor dinas tersebut”.
Maz Blangkon : “Luar
biasa! Saya yakin sekali, ada suatu amaliyah sehingga Allah mudahkan begitu
rupa!”
Wicaksono :
“Bukan maksud saya untuk cerita-cerita amalan ya maz, tapi berhubung njenenganbertanya,
maka terpaksa saya ceritakan. Begini maz, saya merasa Insya Allah ada dua
amaliyah yang bisa saya sebutkan :pertama,selagi bisa diterima akal
sehat dan saya mampu, maka saya selalu berusaha memenuhi nasehat dan permintaan
bapak/ibu. Insya Allah, bapak/ibu adalah orang yang sholeh, jadi nasehat dan
permintaannya semuanya adalah baik. Kedua, saya selalu berusaha
menyisihkan penghasilan saya untuk anak-anak yatim, maz. Begitu maz Blangkon!”.
Maz Blangkon : “Baik mas Wicak, terjawab sudah !Bapak/Ibu
yang engkau mulyakan, maka bapak/ibu jadi ridlo. Ridlo orang tua akan hadirkan
ridlo Allah! Dan kedua, anak-anak yatim adalah hamba-hamba kecil kinasih
Allah. Siapa yang mengasihi hamba-hamba kecil itu, maka Allah akan mengasihinya
pula. Alhamdulillah !”
Wicaksono : “Ternyata
kemudahan yang saya terima tidak sampai di situ maz”.
Maz Blangkon : “Lha apalagi,
mas Wicak?”
Wicaksono : “Setelah
mulai tugas di Jogja, saya kemudian kontrak rumah sederhana tipe 45 dekat
kantor milik pak Ahmad Sutopo. Ternyata pak Topo ini punya putri cantik dan
shalihah, sarjana pendidikan yang sudah ngajar di sekolah lanjutan.Pak Topo
bilang, jika saya merasa cocok dengan putrinya, maka silahkan berjodoh
dengannya.Alhamdulillah kami berdua merasa cocok.Maka kemudian rumah diminta
pake saja, tidak kontrak, dan 2 bulan lagi kami menikah”.
Maz Blangkon :
“Subhanallah, Allah limpahkan padamu kemudahan dan kemurahan yang besar, mas
Wicak!”
Tapi tiba-tiba saja Kampret pegang tangan maz Blangkon erat-erat :
“Waduh, mas Wicak iki mingin-mingini wae…, terus kapan aku iso rabi
maz Blangkoooon?”
Maz Blangkon : “Cup…
Cup… Kampret, suk tanggal 33 rabi !”
Kampret : “ ?
? ? ? ?”
Ft :
Njenengan (jawa halus) = anda
Kinasih (jawa) = yang dikasihi
Iki (jawa) = ini
Mingin-mingini (jawa) = bikin rasa ingin yang besar
Iso rabi (jawa) =
bisa nikah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar