Sepasang
pemuda-pemudi, Jaka dan Anita, telah bersiap untuk menikah. Jaka seorang pemuda
yang bagus akhlaknya, rajin belajar, dan rajin berlatih kerja. Jaka telah
memiliki posisi dan penghasilan yang bagus, sangat mapan. Sedang Anita, adalah
gadis baik, dari keluarga baik-baik, yang siap dilamar oleh Jaka.
Tapi mendadak Anita terserang kanker tulang kaki ganas pada kaki
kirinya. Beberapa bulan teratasi, tapi kaki kiri telah mengalami atrofi
(penyusutan), sehingga hanya berukuran separuh normal dan jalannya jadi
pincang.
Anita menyadari kondisinya sekarang, begitu juga keluarganya,
sehingga mempersilahkan Jaka untuk memilih gadis lain yang normal. Begitu pula
dengan keluarga Jaka sendiri, juga sudah menasehati agar berfikir ulang untuk
melamar Anita, mumpung durung ! “Nanti kamu akan alami banyak kesulitan
dengan kondisi istri yang kakinya invalid, Jaka !” begitu saran keluarga
Jaka padanya. Jaka sejenak tepekur, berdiam diri, lalu kemudian dengan tenang
dan santun berusaha menyampaikan sikap dan pikirannya kepada ibunya dan
adik-adiknya. Ayah Jaka telah meninggal beberapa waktu sebelumnya, dan Jaka
adalah anak tertua.
“Kepada Ibu dan adik-adik semua. Sebelumnya mohon maaf jika
keputusan saya kurang bisa diterima. Bahwa dik Nita sekarang jadi begitu,
bukanlah sesuatu yang dia inginkan. Semua adalah ketentuan Allah. Dan saya
dengan dik Nita sudah saling mencintai. Jika kemudian kakinya invalid, lalu
saya meninggalkan, itu artinya cinta dan kesetiaan saya hanya sebatas dia sehat
dan normal saja. Lalu jika saya yang mencintai saja meninggalkan dia, apalagi
yang tidak mencintai. Tidak ada yang mau mendekat! Jika demikian keadaannya,
maka bagaimana nasib dik Nita? Bisa jadi seumur hidup dia tidak akan menikah,
karena tak ada yang memakluminya. Jika demikian halnya, maka hatiku akan
menderita seumur hidup pula.
Maka untuk itulah, dengan berserah diri sepenuhnya kepada Allah
Ta’ala, mohon do’a restu dari Ibu serta permakluman adik-adik semua, bahwa saya
akan segera tetap melamar dik Nita sebagai istri saya”.
Ibunya Jaka berkaca-kaca matanya penuh haru. Beliau sudah
memperkirakan sikap putranya. Beliau merestui. Semua adik-adik juga memahami.
Tapi yang menjadi sangat amat bahagia adalah Anita dan keluarganya,
begitu mendengar sikap dan keputusan Jaka. Anita merasakan, bahwa Jaka adalah
anugerah terbesar dalam hidupnya. Cinta dan kesetiaannya tidak pernah luntur,
tetap utuh memayungi. Air mata haru dan bahagia Anita terus mengalir, sebagaimana
mengalirnya cinta dan kesetiaan Jaka yang makin dirasakan sebagai pohon besar
keteduhan hati, menjadi kekuatan hati yang besar untuk menatap dan menjalani
hidup, menjadi semangat hidup yang terus menggelorakan !
Jaka dan Anita akhirnya menikah, menjadi keluarga yang saling
mencintai dan mengasihi. Suka duka dijalani bersama. Suara miring orang-orang
dilewati bersama. Cahaya keluarga sakinah, mawaddah warahmah nampak betul pada
kehidupan mereka !
Maz Blangkon : “Begitulah
Pret, kisah cinta Jaka dan Anita”.
Kampret : “Ya maz, tapi kok nampaknya maz Blangkon
tahu cukup dalam kisah ini ?”
Maz Blangkon : “Lha
bagaimana to Pret, mas Jaka itu masih tunggal simbah dengan saya. Hanya
dulu sana senior, sudah kerja dan dewasa, sedang saya masih yunior,
duduk di bangku SMP, Pret ! Kakak-kakak saya yang jadi teman bergaul mas Jaka
dan mbak Nita”.
Kampret : “Woooooo…!”
- Mumpung durung (jawa) = mumpung semuanya belum terjadi.
- Invalid = cacat.
- Tunggal simbah (jawa) = saudara sepupu (satu kakek).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar