Maz Blangkon turun dari “mobil
kodok” kesayangannya di halaman rumah, baru pulang dari kantor bisnisnya di
Jogja Utara.
Tapi sementara
waktu, maz Blangkon jadi terdiam sejenak, mendengar guyonan Kampret dan
tiga kawannya di pojok halaman rumah. Berkali-kali mereka gojekan,
saling melempar kata, dan berulang-ulang pula melempar sebutan ‘mbokmu….
‘mbokmu…. ‘mbokmu di antara mereka.
Maz Blangkon
sempat berpikir mau bergabung sebentar, tapi khawatir di anggap mengganggu
‘reuni’ mereka. Maka maz Blangkon langsung masuk saja ke rumah.
Dan menjelang waktu maghrib, ternyata teman-teman Kampret sudah pada
pamit pulang. Maka setelah shalat maghrib, Kampret diajak maz Blangkon cangkriman
di teras rumah, duduk-duduk santai di atas kursi rotan tua.
Maz Blangkon : “Mas Bagus Kampret, sing paling gantêng sak RT.
Katone gayeng tenan mau gojekane, ya Pret !”
Kampret : “Iya maz,
tadi tiga teman sudah cukup lama tidak ketemu. Jadi asyik, deh!”
Maz Blangkon : “Alhamdulillah Pret, bisa ketemu teman-teman lama,
jadi gojekane gayeng tenan. Tapi ada satu hal penting yang harus saya sampaikan
Pret, demi kebaikanmu”.
Kampret
: “Apa itu, maz?”
Maz Blangkon : “Tadi kalian sempat gojekan dengan saling melempar
kata ‘mbokmu… ‘mbokmu…., Pret ! Apakah kamu rela Pret, jika Ibumu terhina ?”
Kampret
: “Wah, ya tidak to maz !”
Maz Blangkon : “Nah Pret,
tadi apa yang kamu lakukan, tanpa sadar kalian telah saling menghina Ibu kalian
sendiri-sendiri. Ketika kamu menyebut simbok temanmu dalam rangka
ledekan, dan temanmu kemudian membalas menyebut simbokmu juga Pret, dalam
rangka ledekan maka sesungguhnya kalian telah meledek Ibu kalian masing-masing
!”
Kampret : “Tapi
sebetulnya kami tidak bermaksud meledek Ibu-ibu kami sendiri, maz !”
Maz Blangkon : “Maksud tidak, tapi hakekat perbuatan ya, maka
hakekat perbuatan yang jadi ukuran, Pret. Maaf ya Pret, dalam hal ini saya
harus serius, karena ini menyangkut harga kehormatan seorang ibu. Ingat lho
Pret, ridlo Gusti Allah tergantung ridlo orang tua kita, khususnya Ibu kita.
Nah, kita ini belum bisa memberikan kebaktian yang cukup, serta balas budi yang
cukup pada ibu yang melahirkan dan merawat kita, tapi tiba-tiba masing-masing
Ibu kita telah kita hina sendiri-sendiri !”
Kampret tertunduk dan
mulai menangis. Berkali-kali nafasnya ditarik panjang dan dalam. Maz Blangkon
untuk sementara membiarkan Kampret menghayati sendiri rasa bersalah dan
penyesalannya. Tapi kemudian Kampret sudah bisa mengatasi dirinya sendiri.
Kampret : “Terima
kasih sekali maz, saya dan teman-teman telah bertindak bodoh dan tidak pernah
evaluasi atas kebodohan itu. Saya ingin segera ketemu Ibu maz. Mau sungkem
dan mohon maaf atas perbuatan saya.
Maz Blangkon : “Siip. Itu buuagus
Pret. Tapi ada satu hal lagi yang penting, bahwa kamu punya kewajiban
ingatkan teman-temanmu, demi kemuliaan Ibu kalian, kemuliaan Ibu kita semua,
kemuliaan Ibu di seluruh dunia !”
Kampret
: “Oce, maz ! Insya Allah ! Siaappp !”
Ft :
- Katone gayeng tenan mau guyonane (jawa) = nampaknya tadi di nikmati betul bercandanya.
- Guyonan / gojekan (jawa) = bercanda.
- ‘mbokmu (jawa) = Ibumu.
- Cangkriman (jawa) = omong-omong akrab.
- Sing paling gantêng sak RT (jawa) = yang paling tampan se RT.
- Sungkem (jawa) = menghaturkan kebaktian, permohonan maaf dan mohon do’a restu. Sungkem dilakukan yang muda (anak / cucu) kepada kasepuhan (orang tua / kakek nenek).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar