Senin, 14 April 2014

REHAT 0048 THOKOLAN (TIDAK HARUS BEGITU)

Maz Blangkon yang baru darang dari Bandung, membawa oleh-oleh kue dodol Garut yang legit. Maz Blangkon dan Kampret bersama menikmati dodol dan teh nasgitel sembari keduanya duduk bersila di atas tikar plastik di teras rumah.
Maz Blangkon  : “Kenapa Pret ini disebut dodol ?”
Kampret            : “Ya, karena orang yang buat pertama, memang beri nama itu, maz !”
Maz Blangkon  : “Itu jawaban terlalu normatif Pret, jadi tidak menarik”.
Kampret            : “Lha, apa maz jawabannya ?”
Maz Blangkon  : “Yaa, kalo diberi nama Kampret, maka dodol nya nanti akan bisa jalan-jalan, kalo mandi sambil nyanyi, suka bajigur, dan kalo tidur… sering ngiler… He He He…!”
Kampret        : “Wahh, maz Blangkon buka rahasia nih ! Nanti saya jadi luwih angel golek jodo lho, maz !”
Maz Blangkon : “Gampang Pret, cari saja gadis yang sama-sama hobi ngiler kalo tidur. Siip kan ? Pasangan Serasi, kan ?”
Kampret           : “Weleh… weleh… weleh… weleh ! Jadi sering lomba bikin pulau-pulau di Bantal nanti ! Nah, sekarang gantian maz; apa bedanya thokolan & thukulan, maz ?”
Maz Blangkon : “Itu maknanya sama-sama tumbuh, Pret. Hanya saja kalo thokolan itu sama dengan kecambah, bertunas tumbuh di atas tanah. Sedang thukulan, itu tunas biji yang tumbuh muncul dari dalam tanah, Pret !”
Kampret         : “Itu jawaban normatif, maz. Yang betul kalo thokolan itu banyak huruf vocal “o” nya. Sedang thukulan banyak vocal “u” nya… He…he…he!”
Maz Blangkon : “Waduhh, kena smash 1-1 aku dari Mr. Kuuampret ! Tapi saya teringat sesuatu Pret, tentang thokolan itu”.
Kampret             : “Apa itu, maz ?”
Maz Blangkon : “Ini berkait dengan kegiatan tambak bandeng, Pret. Jika biasanya petambak bandeng mulai kegiatan tambaknya dengan bibit bandeng (anak bandeng) nênêr namanya yang sebesar jarum, dan memberi makan sore hari setelah ashar; maka Insya Allah untuk hasil yang lebih baik tidak demikian. Lebih baik bibit anak bandeng dimulai dari thokolan, yang besarnya sudah sebesar jari kelingking; sedang pemberian pakannya siang hari usai waktu habis dluhur.
Kampret            : “Kenapa harus begitu, maz ?”
Maz Blangkon  : “Ya, dengan mulai dari thokolan, maka resiko kematian jika ambil benih nênêr dan dibesarkan sampai dengan thokolan, itu bisa ditiadakan, Pret. Jadi cost lebih rendah, lebih menguntungkan, Pret. Nah, kenapa baiknya pakan diberikan habis dluhur saja, kok tidak habis ashar seperti biasanya? Jika diberikan habis ashar, maka sering masih ada sisa pakan, yang kemudian membuat kwalitas air jadi kurang baik, dan memungkinkan tingkat kematian bandeng jadi lebih besar. Tapi jika diberikan siang hari habis dzuhur, maka relatif pakan akan habis, air terjaga lebih bersih dari sisa pakan, sedang ikan yang sudah kenyang bertenaga, masih punya waktu cukup untuk bermain dan melompat-lompat, dan ini akan menambah kadar oksigen air. Ikan terjaga sehat. Begitu, Pret !”
Kampret           : “Apa petambak bandeng yang sudah merasa punya pengalaman puluhan tahun, tidak menolak cara baru itu, maz ? apa hasil panen lebih bagus?”
Maz Blangkon : “Sebetulnya itu bukan CARA BARU, Pret. Tapi lebih tepat disebut sebagai “Penyempurnaan Cara Lama”. Kalo ditolak, ya tidak masalah. Hanya saja baiknya TIDAK HARUS BEGITU. Dalam hal apapun, baiknya kita biasakan siap menerima hal baru, jika itu memang bawa kebaikan yang lebih baik. Apalagi konsep tentang thokolan dan pakan habis dluhur itu juga berasal dari uji berkali-kali yang telah dilakukan oleh pakar perikanan di lapangan, Pret. Begitu ya, maz Kampret !”
Kampret         : “Hainggihh, Mmuaz Blangkon ! Kamsiaa…, nuwun matur…, eh matur nuwun !”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar