Maz Blangkon yang baru darang dari Bandung, membawa oleh-oleh kue dodol
Garut yang legit. Maz Blangkon dan Kampret bersama menikmati dodol dan teh
nasgitel sembari keduanya duduk bersila di atas tikar plastik di teras
rumah.
Maz Blangkon : “Kenapa Pret
ini disebut dodol ?”
Kampret : “Ya, karena orang yang buat
pertama, memang beri nama itu, maz !”
Maz Blangkon : “Itu jawaban
terlalu normatif Pret, jadi tidak menarik”.
Kampret : “Lha, apa maz jawabannya ?”
Maz Blangkon : “Yaa, kalo
diberi nama Kampret, maka dodol nya nanti akan bisa jalan-jalan,
kalo mandi sambil nyanyi, suka bajigur, dan kalo tidur… sering ngiler…
He He He…!”
Kampret : “Wahh,
maz Blangkon buka rahasia nih ! Nanti saya jadi luwih angel golek
jodo lho, maz !”
Maz Blangkon : “Gampang
Pret, cari saja gadis yang sama-sama hobi ngiler kalo tidur. Siip kan ?
Pasangan Serasi, kan ?”
Kampret : “Weleh…
weleh… weleh… weleh ! Jadi sering lomba bikin pulau-pulau di Bantal nanti !
Nah, sekarang gantian maz; apa bedanya thokolan & thukulan,
maz ?”
Maz Blangkon : “Itu maknanya
sama-sama tumbuh, Pret. Hanya saja kalo thokolan itu sama dengan
kecambah, bertunas tumbuh di atas tanah. Sedang thukulan, itu tunas biji
yang tumbuh muncul dari dalam tanah, Pret !”
Kampret : “Itu
jawaban normatif, maz. Yang betul kalo thokolan itu banyak huruf vocal
“o” nya. Sedang thukulan banyak vocal “u” nya… He…he…he!”
Maz Blangkon : “Waduhh, kena
smash 1-1 aku dari Mr. Kuuampret ! Tapi saya teringat sesuatu Pret,
tentang thokolan itu”.
Kampret : “Apa
itu, maz ?”
Maz Blangkon : “Ini berkait
dengan kegiatan tambak bandeng, Pret. Jika biasanya petambak bandeng
mulai kegiatan tambaknya dengan bibit bandeng (anak bandeng) nênêr namanya yang sebesar jarum, dan
memberi makan sore hari setelah ashar; maka Insya Allah untuk hasil yang lebih
baik tidak demikian. Lebih baik bibit anak bandeng dimulai dari thokolan,
yang besarnya sudah sebesar jari kelingking; sedang pemberian pakannya
siang hari usai waktu habis dluhur.
Kampret :
“Kenapa harus begitu, maz ?”
Maz Blangkon : “Ya, dengan
mulai dari thokolan, maka resiko kematian jika ambil benih nênêr dan dibesarkan sampai dengan thokolan, itu bisa ditiadakan,
Pret. Jadi cost lebih rendah, lebih menguntungkan, Pret. Nah, kenapa
baiknya pakan diberikan habis dluhur saja, kok tidak habis ashar seperti
biasanya? Jika diberikan habis ashar, maka sering masih ada sisa pakan, yang
kemudian membuat kwalitas air jadi kurang baik, dan memungkinkan tingkat
kematian bandeng jadi lebih besar. Tapi jika diberikan siang hari habis dzuhur,
maka relatif pakan akan habis, air terjaga lebih bersih dari sisa pakan, sedang
ikan yang sudah kenyang bertenaga, masih punya waktu cukup untuk bermain dan
melompat-lompat, dan ini akan menambah kadar oksigen air. Ikan terjaga sehat.
Begitu, Pret !”
Kampret : “Apa petambak
bandeng yang sudah merasa punya pengalaman puluhan tahun, tidak menolak
cara baru itu, maz ? apa hasil panen lebih bagus?”
Maz Blangkon : “Sebetulnya
itu bukan CARA BARU, Pret. Tapi lebih tepat disebut sebagai “Penyempurnaan
Cara Lama”. Kalo ditolak, ya tidak masalah. Hanya saja baiknya TIDAK HARUS
BEGITU. Dalam hal apapun, baiknya kita biasakan siap menerima hal baru, jika
itu memang bawa kebaikan yang lebih baik. Apalagi konsep tentang thokolan
dan pakan habis dluhur itu juga berasal dari uji berkali-kali yang telah
dilakukan oleh pakar perikanan di lapangan, Pret. Begitu ya, maz Kampret !”
Kampret :
“Hainggihh, Mmuaz Blangkon ! Kamsiaa…, nuwun matur…, eh matur nuwun !”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar