Senin, 14 April 2014

REHAT 0049 UNTUNG AKU TAK JADI BUPATI

            Seorang laki-laki paruh baya sekitar 50 tahunan, sebut saja pak Hudaya, bertemu maz Blangkon di stasiun Gambir Jakarta. Sambil menunggu jam berangkat kereta yang mundur 1 jam karena ada perbaikan rel KA yang belum selesai, sepakat mereka berdua mencari kantin stasiun untuk bisa bersama nyeruput hangatnya kopi pagi.
Pak Hudaya        : “Wah, kalo sudah mat-matan nyeruput kopi hangat pagi seperti ini, dan sudah dapat pula ‘bonus glegekken’, maka seakan dunia milik kita ya”.
Maz Blangkon  :  “Betul Pak Hudaya, rasanya kembali semuanya bergairah ! Omong-omong, ini Pak Hudaya mau perjalanan ke mana ?”
Pak Hudaya        :  “Ke Surabaya. Maz Blangkon turun Jogja ?”
Maz Blangkon    :  “Betul Pak Hudaya”.
Pak Hudaya     :  “Oh ya, apa yang disampaikan maz Blangkon di RMB (Rehat Maz Blangkon – red - ) benar adanya, bahwa kadang kita merasa do’a kita tidak dikabulkan, padahal ternyata Allah menggantinya dengan hal lain yang lebih baik”.
Maz Blangkon    :  “Hal penting apa yang pernah bapak alami ?”
Pak Hudaya        :  “Beberapa waktu lalu saya ikut pilkada sebagai calon Bupati di daerah saya, maz. Sudah barang tentu saya sekeluarga terus panjatkan do’a memohon kepada Allah agar saya sukses terpilih jadi bupati. Tapi ternyata gagal ! Saya sekeluarga jadi lêmês, tak bersemangat ! Sementara dana juga sudah keluar banyak sekali. Tapi 6 bulan kemudian semuanya berubah sebaliknya, saya sekarang sangat bersyukur bahwa saya tidak jadi Bupati !”
Maz Blangkon       :  “Lha, apa yang terjadi Pak Hudaya ?”
Pak Hudaya     : “Ya, karena sistem kerja dan tanggung jawab di kantor Pemda Kabupaten ternyata banyak salah urus dan banyak permainan, akibatnya Bupati terpilih terjebak dalam pusaran masalah, dan sekarang dia sudah berada di penjara KPK ! Untungg… do’a saya untuk jadi Bupati tak dikabulkan. Jika dikabulkan, maka sudah barang tentu sekarang ini saya tidak sedang nyeruput kopi pagi dengan maz Blangkon !”
Maz Blangkon   : “Masya Allah, kasihan ya Pak, Bupati terpilih ! Oh ya Pak, kalo boleh tahu, berapa dana pak Hudaya terkuras untuk pilkada ?”
Pak Hudaya        : “Habis 2 milyar, maz ! Untunglah saya dan istri sepakat membatasi diri tidak sampai hutang. Kalo hutang, bisa jadi akan seperti calon Bupati sebuah daerah di Jatim yang gagal. Harta sudah terkuras habis, masih ada hutang beberapa milyar, akhirnya jadi gêndhêng, kesana kemari hanya koloran saja, dan sesekali mandi di kubangan air tetangganya ! Itulah maz, realitas sisi lain dari demokrasi di Negara kita. demokrasi yang sangat mahal, suara yang mudah dibeli, pemimpin yang terpilih sering karena kekuatan uang !”
Maz Blangkon        : “Akibatnya sulit lahir pemimpin yang negarawan, ya Pak Hudaya?”
Pak Hudaya      : “Betul Sekali, maz Blangkon ! Zaman Edan, yen ora edan, ora keduman. Sak bejo-bejone sing edan, isih bejo sing eling lan waspodo !”



Ft : 
  •  Mat-matan (jawa) = menikmati sesuatu dengan pelan-pelan, dirasakan betul sepenuh hati.
  • Gêndhêng (jawa) = gila.
  • Koloran (jawa) = Tanpa baju, kecuali hanya pakai celana pendek kolor.
  •  Zaman edan, yen ora edan, ora keduman. Sak bejo-bejone sing edan, isih bejo sing eling lan waspodo (jawa – petuah Ronggowarsito) = zaman edan, jika tidak edan, tidak kebagian. Tapi seberuntung-beruntungnya orang edan, tetap masih beruntung orang yang ingat (waras) dan senantiasa waspada.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar