Seorang
laki-laki paruh baya sekitar 50 tahunan, sebut saja pak Hudaya, bertemu maz
Blangkon di stasiun Gambir Jakarta. Sambil menunggu jam berangkat kereta yang
mundur 1 jam karena ada perbaikan rel KA yang belum selesai, sepakat mereka
berdua mencari kantin stasiun untuk bisa bersama nyeruput hangatnya kopi pagi.
Pak Hudaya : “Wah, kalo
sudah mat-matan nyeruput kopi hangat pagi seperti ini, dan sudah dapat
pula ‘bonus glegekken’, maka seakan dunia milik kita ya”.
Maz Blangkon : “Betul Pak Hudaya, rasanya kembali semuanya
bergairah ! Omong-omong, ini Pak Hudaya mau perjalanan ke mana ?”
Pak Hudaya : “Ke
Surabaya. Maz Blangkon turun Jogja ?”
Maz Blangkon : “Betul
Pak Hudaya”.
Pak Hudaya : “Oh ya, apa yang disampaikan maz Blangkon di
RMB (Rehat Maz Blangkon – red - ) benar adanya, bahwa kadang kita merasa
do’a kita tidak dikabulkan, padahal ternyata Allah menggantinya dengan hal lain
yang lebih baik”.
Maz Blangkon : “Hal penting apa yang pernah bapak alami ?”
Pak Hudaya : “Beberapa waktu lalu saya ikut pilkada sebagai
calon Bupati di daerah saya, maz. Sudah barang tentu saya sekeluarga terus
panjatkan do’a memohon kepada Allah agar saya sukses terpilih jadi bupati. Tapi
ternyata gagal ! Saya sekeluarga jadi lêmês, tak bersemangat ! Sementara dana juga sudah keluar banyak
sekali. Tapi 6 bulan kemudian semuanya berubah sebaliknya, saya sekarang sangat
bersyukur bahwa saya tidak jadi Bupati !”
Maz Blangkon : “Lha,
apa yang terjadi Pak Hudaya ?”
Pak Hudaya : “Ya, karena sistem
kerja dan tanggung jawab di kantor Pemda Kabupaten ternyata banyak salah urus
dan banyak permainan, akibatnya Bupati terpilih terjebak dalam pusaran
masalah, dan sekarang dia sudah berada di penjara KPK ! Untungg… do’a saya
untuk jadi Bupati tak dikabulkan. Jika dikabulkan, maka sudah barang tentu
sekarang ini saya tidak sedang nyeruput kopi pagi dengan maz Blangkon !”
Maz Blangkon : “Masya
Allah, kasihan ya Pak, Bupati terpilih ! Oh ya Pak, kalo boleh tahu, berapa
dana pak Hudaya terkuras untuk pilkada ?”
Pak Hudaya : “Habis 2
milyar, maz ! Untunglah saya dan istri sepakat membatasi diri tidak sampai
hutang. Kalo hutang, bisa jadi akan seperti calon Bupati sebuah daerah di Jatim
yang gagal. Harta sudah terkuras habis, masih ada hutang beberapa milyar,
akhirnya jadi gêndhêng, kesana kemari
hanya koloran saja, dan sesekali mandi di kubangan air tetangganya !
Itulah maz, realitas sisi lain dari demokrasi di Negara kita. demokrasi yang
sangat mahal, suara yang mudah dibeli, pemimpin yang terpilih sering karena
kekuatan uang !”
Maz Blangkon : “Akibatnya sulit lahir pemimpin yang
negarawan, ya Pak Hudaya?”
Pak Hudaya : “Betul Sekali,
maz Blangkon ! Zaman Edan, yen ora edan, ora keduman. Sak bejo-bejone
sing edan, isih bejo sing eling lan waspodo !”
Ft :
- Mat-matan (jawa) = menikmati sesuatu dengan pelan-pelan, dirasakan betul sepenuh hati.
- Gêndhêng (jawa) = gila.
- Koloran (jawa) = Tanpa baju, kecuali hanya pakai celana pendek kolor.
- Zaman edan, yen ora edan, ora keduman. Sak bejo-bejone sing edan, isih bejo sing eling lan waspodo (jawa – petuah Ronggowarsito) = zaman edan, jika tidak edan, tidak kebagian. Tapi seberuntung-beruntungnya orang edan, tetap masih beruntung orang yang ingat (waras) dan senantiasa waspada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar