Senin, 28 April 2014

REHAT 0056 SURUPAN

 Maz Blangkon dan Kampret baru pulang dari layatan rumah temannya, Maryoto, yang mana sang ayah Maryoto telah berpulang. Di trotoar mereka berjalan, sambil sesekali memperhatikan lalu lalang kendaraan yang nampaknya makin padat saja, tak sebanding dengan pengembangan jalan, sehingga kemacetan sering mulai terjadi di mana-mana, meniru Jakarta. Sambil berjalan, mereka asyik berbincang.
    Kampret 
:
“Maz, tadi sebelum jenazah diberangkatkan, istri almarhum beserta semua anak dan cucu kok berkali-kali berputar lewat bawah keranda jenazah, itu maksudnya apa maz ? Apakah itu hal wajib ?”
    Maz Blangkon  
:
Itu namanya surupan, Pret. Itu adalah bagian dari adat kebiasaan saja, bukan wajib. Sedang yang wajib dari perawatan jenazah itu ada 4 hal Pret, yakni : memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkan jenazah. Nah, wajibnya mengurus jenazah itu adalah wajib kifayah Pret, yakni kewajiban bagi seluruh warga sekitar. Tapi jika sebagian warga sudah melaksanakan, maka gugurlah wajib kifayah itu, Pret. Ini merupakan bentuk tanggung jawab komunitas dan kebersamaan Pret, selain masing-masing ada tanggung jawab pribadi. Semua demi terselenggaranya keseimbangan kehidupan, Pret. Makaten, mas Kampret kulo matur!”
    Kampret
:
“Hainggih ! Tapi maz Blangkon belum jawab pertanyaan saya tentang surupan tadi lho !”
    Maz Blangkon
:
“Betttul mister Kampret. Lupa saya ! Begini Pret. Surupan adalah bagian dari adat ya. Surupan berasal dari kata Sumurupan yang bermakna membuat diri jadi faham / mengerti. Dalam adat kebiasaan surupan, seakan ada pesan “sumurupo, yen kowe bakal arep ngalami podho. Mulo, opo kowe wis nyawiske?” (Mengertilah, sesungguhnya kamu akan mengalami kematian juga. Lalu, apa yang sudah kamu siapkan sebagai bekal mati ?). Begitulah Pret, kira-kira nilai maknanya”.
    Kampret
:
“Alhamdulillah, jelas tuntas maz ! Kamsia… kamsia…!”
    Maz Blangkon
:
“Nah, hendaknya kita semua juga harus siap-siap lho Pret, karena sesungguhnya kita semua adalah peserta antrian panjang kematian, dan kita tak tahu dapat tiket nomer berapa ? Siapa tahu kamu dapat tiket duluan, Pret !”
    Kampret
:
“Waduhh, mati aku kalo sudah begini ! Maz Blangkon telah bikin saya mati kutu ! Kawin belum, wis di weden-wedeni mati ! Tobaat… Tobaaat ! Ya Allah, semoga saya bisa cepat kawin, hidup bahagia 50 tahun lagi, lalu baru mati, jadi ahli surga !”
    Maz Blangkon
:
“Amin Amin, mister Kampret !”

Ft :
-      Makaten kulo matur, mas Kampret (jawa) = demikian saya memberi penjelasan, mas Kampret.
 

























Tidak ada komentar:

Posting Komentar